S U G E N G R A W U H

Selamat Datang Di Halaman Kami

Monggo

Selasa, 21 Juli 2009

SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH

PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Sejak periode awal sejarah perkembangan Islam, perilaku kehidupan Muslimin dalam keseluruhan aspeknya telah diatur oleh hukum Islam.Aturan-aturan ini pada esensinya adalah religius dan terjalin Inherent secara religius pula. sehingga dipayakan dalam acuan sumber hukumnya didasarkan pada Al qur`an dan diinterpretasikan melalui Sunah Rasulnya.
B. Rumusan Masalah
1. Sejarah pembentukan sistem Fiqh
2. Ijtihad (fiqh) pada masa Bani Umayah

PEMBAHASAN

A. SEJARAH PEMBENTUKAN SISTEM FIQIH

Awal mula diturunkannya al-Qur`an merupakan sebuah respon terhadap suatu masyarakat saat itu yang kemudian dalam perkembangannya menjadi luas. Seiring dengan lajunya perkembangan Islam ke berbagai penjuru, maka munculah persoalan-persoalan baru yang saat itu terjadi pada masa Rasulullah, padahal al-Qur`an sendiri hanya memuat sebagian hukum terinci, sementara sunnah hanya sebatas pada persoalan-persoalan yang berkembang pada masa Rasulullah. Maka dari itu dalam menyelesaikan persoalan baru di butuhkanlah konsep "ijtihad".
Hingga pada akhirnya konsep "ijtihad" yang awal mulanya muncul sekitar pada abad keempat Hijriyah, muncul produk pemikiran yang baru. Salah satunya adalah kajian tentang Fiqh, selain dari ilmu kalam, ilmu tasawuf dan falsafah (al-hikmah). Dari segi disiplin ilmu keislaman tradisional yang mapan salah satunya adalah ilmu fiqh yang paling kuat mendominasi pemahaman orang-orang muslim akan agama mereka sehingga, paling tidak banyak membentuk bagian terpenting cara berfikir mereka. Kenyataan seperti ini dapat dikembalikan kepada berbagai proses sejarah pertumbuhan masyarakat muslim lalu, juga kepada sebagai dari inti semangat ajaran agama Islam.
Paling tidak, karena pertumbuhan dan perkembangan fiqh menunjukan pada dinamika pemikiran keagamaan itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri salah satu bentuk karakteristik sejarah agama Islam ialah kesuksesan yang cepat luar biasa dalam ekspansi militer dan politik. terdapat indikasi bahwa ekspansi militer keluar jazarah arabia itu mula-mula dilakukan dalam keadaan terpaksa dan untuk tujuan pertahanan diri. Tetapi gerakan dinamika perluasan itu kemudian seperti tidak dapat dikekang, dan dalam tempo yang singkat, orang-orang muslim menguasai sepenuhnya "daerah beradab" (oioumene, menurut sebutan orang-orang Yunani kuno), yang membentang dari lautan atlantik di barat sampai dengan gurun Gobi di timur.
Disebabkan oleh ciri kekuasaan itu, maka sejak dari semula, khusunya di kalangan Sunni, agama Islam erat kaitannya dengan kemapanan politik. Dari sekian banyak implikasinya adalah bahwa para pemimpin Islam, baik yang berada pada lingkungan kekuasaan maupun yang menekuni bidang pemikiran, banyak sekai disibukkan oleh usaha-usaha mengatur masyarakat dan negara sebaik-baiknya. Ini mendorong kepada curahan perhatian yang luar biasa besar untuk menggali dan mengembangkan unsur-unsur dalam ajaran Islam yang berhubungan dengan masalah pengaturan masyarakat dan negara. Tetapi disini setelah munculnya perkembangan fiqh itu sendiri mengiringi pula pasang surut perkembangan Islam. Dan yang dominan terutama pada abad pertengahan mewarnai corak bagi perkembangan Islam dari masa ke masa.
Dari persoalan-persoalan di atas, penulis mencoba mengetengahkan persoalan tentang fiqh, bagaimanakah fiqh tersebut di bentuk hingga perkembangannya dari masa ke masa. Serta melihat bagaimanakah realitas masyarakat sekarang dalam mensikapi fiqh tersebut. Hingga pada akhirnya membahas tentang rekonsiliasi pemikiran fiqh yang selama ini dijadikan produk hukum Islam itu sendiri bahkan dianggap sebagai produk "hukum tuhan".
B. PANGKAL PERTUMBUHAN FIQH
Dari suatu segi, ilmu fiqh, seperti halnya dengan ilmu-ilmu keislaman yang lainnya dapat dikatakan telah tumbuh semenjak masa Nabi sendiri. Jika "fiqh" dibatasi hanya kepada pengertian "hukum" seperti yang sekarang dipahami oleh banyak orang, maka akar "hukum" yang erat kaitannya dengan kekuasaan itu berada dalam satu peranan nabi sendiri selama beliau mengemban tugas suci kerasulan (risalah) khususnya periode sesudah hijrah ke Madinah, yaitu peranan sebagai pemimpin masyarakat politik (Madinah) dan sebagai hakim pemutus perkara.
Peranan Nabi sebagai pemutus perkara itu sendiri harus di pandang sebagai tak terpisahkan dari fungsi beliau sebagai utusan Tuhan. Seperti halnya dengan semua penganjur agama dan moralitas, Nabi Muhammad s.a.w, membawa ajaran dengan tujuan amat penting reformasi atau pembaharuan dan perbaikan (islah) kehidupan masyarakat. Tetapi peranan Nabi dengan tugas kerasulan (risalah) yang diembannya tidaklah hanya bersangkutan dengan hal-hal kemasyarakatan semata.
Dalam kesanggupan menangkap dan memahami serta mengamalkan keseluruhan makna agama yang serba segi itu ialah sesungguhnya letak perbaikan dan peningkatan nilai kemanusiaan seseorang. Inilah yang dimaksudkan Nabi ketika beliau bersabda dalam sebuah hadis yang amat terkenal bahwa jika tuhan menghendaki kebaikan untuk seseorang maka dibuatlah ia menjadi faqih (orang yang paham) akan agama. Berkenaan dengan prinsip ini al-Sayyid Sabiq mengatakan , bahwa Allah mengutus Nabi Muhammad s.a.w., dengan kecenderungan suci yang lapang (al-hanafiyat al-samhah) kemudian kecenderungan suci yang lapang itu dilengkapi dengan tata cara hidup praktis yang serba meliputi (al-syari`at al-jami`at). Namun dalam sifatnya yang menyeluruh itu masih dapat dikenali adanya dua hal yang berbeda : hal yang parametris keagamaan yang tidak berubah-ubah, dan hal yang dinamis, yang berubah menurut perubahan zaman dan tempat.
Adapun hal-hal yang tidak berubah karena perubahan zaman dan tempat, seperti simpul-simpul kepercayaan (al-aqa`id) dan peribadatan (al-ibadah) maka diberikan secara terinci (mufashashal) dengan rincian yang sempurna, serta dijelaskan dengan nas-nas yang serba meliputi. Karena itu tidak seorang pun dibenarkan menambah atau mengurangi. Sedangkan hal-hal yang berubah dengan perubahan zaman dan tempat, seperti berbagai kemaslahatan sipil (al-masalih al-madaniyyah) serta berbagai perkara politik dan perang. Maka diberikan secara garis besar (mujmal) agar bersesuaian dengan kemaslahatan manusia di setiap masa. Dan dengan ketentuan itu para pemegang wewenang (ulu al-amr, jamak dari wall al-amr, pemegang kekuasaan yakni pemerintah) dapat mencari petunjuk dalam usaha menegakkan kebenaran dan keadilan.
maka ilmu fiqh dalam makna asalnya adalah ilmu yang berusaha memahami secara tepat ketentuan-ketentuan terinci (al-mufashalat) dan ketentuan-ketentuan garis besar (al-mujmalat) dalam ajaran agama itu. Tentang hal-hal yang telah terinci, dengan sendirinya tidak banyak kesulitan. Tetapi tentang hal-hal yang bersifat garis besar, perbedaan penafsiran dan penjabarannya sering menjadi sumber kesulitan yang menimbulkan berbagai perbedaan pendapat antara para pemikir muslim dalam fase perkembangan historis mereka yang paling formatif.
Sebuah karakteristik dari fiqh, bahwa ia muncul tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan masyarakat pada masanya, Tetapi juga menyimpan suatu warisan yang berharga untuk perkembangan hukum Islam di masa yang akan datang. Menurut Norman J. Coulson , berbeda dengan hukum Romawi yang sangat terbatas perkembangannya, fiqh Islam berkembang dengan bentuk formulasi akademik dari skema alternatif untuk suatu kebutuhan praktis, para penguasa tidak ikut campur dalam perkembangan fiqh, tetapi fiqh lebih merupakan argumen teoritis dari ilmuwan dalam suatu jangkauan yang sangat panjang. Untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif dari karakteristik fiqh ini, dalam bahasan ini akan membahas tentang periode-periode perkembangan fiqh dari perkembangan awal hingga periode kebangkitan kembali dalam dekade ini. Periode-periode tersebut adalah sebagai berikut :
Periode Fiqh Di Era Kenabian :Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dari era kenabian adalah dimana hidup Nabi Muhammad serta para sahabatnya yang bermula dari turunnya wahyu dan berakhir dengan wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 11 H. pada era ini masa pembentukan fiqh, dalam artian fiqh dijadikan sebagai sumber "hukum", karena fungsi Nabi selain menjadi pemimpin negara, juga menjadi pemimpin masyarakat dalam menentukan suatu perkara "sebagai hakim pemutus perkara" serta turunnya syariat yang dalam arti sebenarnya.
Disinilah dapat dikatakan bahwa dalam penggalian sumber hukum harus sesuai dengan syari`at (wahyu) yang diturunkan oleh Allah yaitu al-Qur`an serta Sunnah Rasul-Nya, yang nantinya akan digali oleh para Fuqaha serta Mujtahidin dalam membuat suatu hukum serta menyimpulkannya. Sebelum kita membicarakan lebih dari dua sumber tersebut, ada baiknya kita terlebih dahulu membuat kerangka sejarah syariat, yaitu dalam dua periode. Syari`at pada periode Mekkah, dan peride Madinah.
Pertama, syariat pada periode Mekkah, bahwa selama 13 tahun masa kenabian Muhammad di Mekkah, sangat sedikit sekali tentang turunnya hukum. Syari`at diturunkan di kota Mekkah lebih menekankan pada penanaman tauhid, (keimanan pada Allah dan Rasul-Nya), hari kiamat, dan perintah untuk berakhlak mulia. Hematnya adalah pada periode ini lebih menekankan pada nilai ketauhidan sehingga disebut dengan revolusi tauhid.
Kedua, syari`at pada periode Madinah, yaitu pada periode ini turunlah ayat-ayat tentang hukum syari`at, seperti salat, zakat, puasa, dan haji, atau masalah muamalah, keluarga, kriminalitas hingga masalah kenegaraan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pada periode Madinah disebut juga dengan periode revolusi sosial politik. Ada tiga aspek yang berkaitan dengan perkembangan fiqh tersebut, yaitu pertama metodenya bagaimanakah dalam menjelaskan tentang hukum, kedua kerangka hukum syari`at, ketiga, turunnya ayat-ayat al`Qur`an yang secara periodik. Yaitu dalam dua tahapan, tahapan dalam menetapkan kesatuan hukum Islam, serta tahapan tidak sedikit dari suatu perbuatan. Yang menjadi catatan penting bahwa pada periode Mekkah dan Madinah terjalin hubungan integral dan tidak dapat dipisahkan antar satu dengan yang lainnya, ibarat mata rantai yang saling berkaitan.
Kemudian sumber-sumber fiqh pada periode kenabian ini adalah al-Qur`an dan as-Sunnah. Sedangkan untuk pengkodifikasiannya, yaitu Nabi memerintahkannya kepada para sahabatnya untuk menulis ayat-ayat al-Qur`an yang telah turun pada dedaunan, tulang, lembaran-lembaran kulit, dll. Serta sebagiannya dihafal oleh para sahabat yang hafidz.
Yang menjadi titik penting pada persoalan ini adalah bagaimanakah ijtihad yang dilakukan untuk membentuk suatu hukum pada era kenabian ? Bahwa Nabi melakukan ijtihad apabila terhadap suatu peristiwa yang tidak ada ketentuan hukumnya. Dan lamanya Nabi menunggu datangnya wahyu merupakan justifikasi dari al-Qur`an. Kemudian bagaimanakah dengan ijtihadnya para sahabat ? sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Nabi, Nabi membolehkan para sahabatnya untuk juga melakukan ijtihadnya. Misalkan yang dicontohkan ketika Nabi memerintahkan kepada sahabatnya yang bernama Muadz bin jabal ke Yaman. Sehingga dapat dikatakan bahwa ijtihad Nabi dan para sahabatnya dapat dikatakan menjadi sunmber fiqh, sebab pada saat berijtihad beliau mencari hukum-hukum syara` tentang suatu peristiwa yang tidak terdapat dalam nash dengan melakukan Qiyas (penalaran analogis), atau memberikan dasar dengan dasar kemaslahatan. Pada dasarnya dalam periode pertama ini keadaan fiqh masih sangat sederhana berupa pengenalan terhadap hukum-hukum Islam dalam waktu dan ruangan tertentu. Sehingga lebih merupakan kerangka dasar untuk suatu perumusan lebih lanjut.
Periode Fiqh Di Era Khulafaurrosyidun: Periode ini merupakan kedua dalam perkembangan tasyri` Islami, dimulai wafatnya Rasulullah pada tahun 11 H (632 M-661 M). dan berakhir pada tahun 41 H ketika Mu`awiyah menjabat sebagai khalifah. Periode ini hiduplah sahabat-sahabat Nabi terkemuka sebagai penerus perjuangan Nabi yaitu mulai khalifah abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali R.A.
Pada periode ini merupakan peranan yang sangat penting di dalam membela dan mempertahankan agama, dengan memperluas dakwahnya hingga ke negeri Persia, Irak, Syam, dan Mesir. Sehingga dihadapkan dengan persoalan-persoalan yang cukup rumit. Karena perluasan wilayah, sehingga perbedaan kultural, tradisi, situasi dan kondisi membuat para Fuqaha membuat aturan hukum yang muncul belakangan. Pada saat-saat seperti inilah muncul perbedaan pendapat dan pemahaman terhadap Nash. Akibat yang lain dari perluasan wilayah inilah bercampurnya antara orang Arab dengan yang lain. Berbagai ragam pemeluknya sehingga dibutuhkan aturan yang mengatur antara muslim dengan non muslim.
Di dalam penetapan suatu hukum para khulafaurrosyidun tetap berpegang dengan al-Qur`an dan as-Sunnah. Tetapi adakalanya dengan menggunakan kesepakatan bersama yang disebut dengan Ijma` dan Qiyas .Pengumpulan al-Qur`an Sepeninggalan Nabi, al-qur`an belum tersusun secara rapi masih tertulis pada lembaran-lembaran yang terpisah. Sementara pada awal pemerintahan Abu Bakar seringkali terjadi kegoncangan misalnya peperangan dengan penduduk yamamah yang murtad pimpinan Musailamah. Sehingga sekitar 500 sahabat banyak yang meninggal diantaranya 70 dari Huffadz al-Qur`an. Sehingga terjadilah kekhawatiran dalam benak Umar bin Khattab yang mengakibatkan hilangnya warisan al-Qur`an. Hingga akhirnya Umar mengusulkan untuk segera mengumpulkan al-Qur`an dalam satu mushaf dengan memerintahkan sahabat Zaid bin Tsabit.
Pada masa khalifah yang ke tiga, yaitu periode Ustman bin Affan muncul perbedaan yang cukup tajam, mengenai masalah bacaan al-Qur`an. Sehingga mengarah pada permusuhan umat Islam. Hingga akhirnya Ustman menertibkan bacaan al-Qur`an dengan meminta kepada Hafsah istri Nabi untuk menyerahkan Mushaf yang dikumpulkan pada khalifah Abu Bakar dengan menyuruh penulis al-Quran misalnya Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash dan Abdurrahman bin harits untuk menertibkan bacaan al-Qur`an.
Pada waktu berakhirnya khalifah Ustman setelah wafat, maka secara spontan Ali lah yang menggantikannya (656 M). Karena kedekatannya dengan Nabi adalah sepupu dan menantu Nabi. Sehingga banyak orang beranggapan yang berhak menggantikan posisinya dari pada sahabat yang lain yang dikenal dengan paham Syi`ah. Tetapi dalam periode ini terjadi polemik yang besar dengan terbunuhnya Ustman membuat politik pemerintahan bertambah kacau. yang lebih memprihatinkan lagi Ibu mertua Beliau, Siti Aisyah bersama Zubair dan Tholkhah untuk memerangi Ali, karena menuntut terbunuhnya `Ustman. Yang terkenal dengan sebutan perang jamal (unta). Sedangkan dalam waktu yang sama Ali juga menggempur orang-orang pro dengan `Ustman di Negeri Syam, di bawah pimpinan Muawiyah. akhirnya peperangan ini dimenangi oleh pasukan Ali, kemudian dilanjutkan dengan perang melawan Mu`awiyah yang terkenal dengan perang Siffin. Yang sebenarnya kemenangan berada pada Ali, tetapi karena kecerdikan Muawiyah dengan dalih damai dan Ali menerimanya, tetapi hak ini hanya sebagai tipu daya saja. Sebenarnya banyak pengikut Ali yang tidak setuju dengan pendapat Ali. Akhirnya pengikut Ali terpecah menjadi tiga golongan yaitu :
Golongan Syiah : golongan yang setia dengan Ali dan menentang Muawiyah
Golongan Khawarij : golongan yang mulanya setia dengan Ali, tetapi karena tidak setuju dengan genjatan senjata untuk berunding dengan Mu`wiyah. Karena mereka lebih senang peperangan dengan Mu`awiyah.
Golongan Jumhur atau golongan ASWAJA ialah golongan Muslim yang bercorak moderat dan tidak memihak kepada golongan yang manapun.
Sehingga akibat dari perpecahan ini, adalah sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan hukum Islam. Karena didasarkan dengan perbedaan pendapat baik dari para perawi hadis maupun fatwa-fatwa mereka. Misalnya golongan syiah hanya menerima sumber hukum dari golongan mereka sendiri, yang lebih utama adalah hadis dan fatwa yang datang dari Ali dan para sahabatnya. Kemudian golongan Khawarij tidak menerima hadis ataupun fatwa yang datang dari golongan atau para sahabat yang mendukung `Ustman, Ali, maupun Mu`awiyah.
Sedangkan golongan Jumhur menerima segala macam sumber hukum yang datang dari manapun asalkan sumbernya jelas. Perlu menjadi catatan penting, bahwa kasus pembunuhan khalifah `Ustman bukanlah atas perbuatan Ali. Tetapi perbuatan keji dari golongan ketiga yang ingin merebut kedudukan dengan politik adu domba antara khalifah `Ustman dengan pendukungnya Ali. Hingga akhirnya Ibnu Muljam yang anti dengan Ali dapat membunuh sewaktu dia shalat subuh tahun 661 M.
sehingga Ali hanya menjabat sebagai Khalifah selama kurang lebih 5 tahun. pada periode khulafaurrasyidun ini kaitannya dengan pembentukan sistem fiqh masih belum terbentuk. Sebagai pengganti Nabi dalam mengambil sumber hukum untuk menentukan suatu perkara, mengambil dari al-Qur`an, as-Sunnah, dan ijtihad "ra`yu" baik kolektif (hasil musyawarah dari sahabat disebut dengan ijmak.), kemudian ijtihad individu. Hal-hal yang menjadi perbedaan pendapat dikalangan para sahabat Nabi (khulafaurrasyidun) adalah : pertama, karena sifat dari al-Qur`an sendiri, kedua, sifat dari as-Sunnah (berbeda dalam menangkap hadis Rasulullah), ketiga, perbedaan dalam penggunaan ra`yu (akal).
Periode fiqh di era bani umayah: Di era ini perkembangan fiqh membingungkan banyak pengamat. Karena akibat dari warisan pergolakan antara `Ustman dan Ali. Hingga sampai pada pemerintahan daulah Umayyah. Hingga sampai melahirkan agitas teologi yang cukup tajam. Sehingga banyak pengamat sejarah yang mengatakan bahwa dalam periode ini perkembangan fiqh tenggelam di bawah perpecahan antara kesatuan agama dan negara.
Bahwa pergolakan daulah Umayyah yang membawa agitas teologi, ternyata membawa pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan fiqh berikutnya yaitu era kodifikasi yang munculnya Imam-imam mazhab. Pada pembahasan "fiqh dalam era keemasan". Sehingga fiqh dari masa kemasa mempunyai kesinambungan antara yang satu dengan yang lain. Periode ini dalam perkembangan fiqhnya bermula ketika pemerintahan Islam diambil alih oleh Muawiyah bin Abu Sofyan tahun 41 H hingga awal abad kedua Hijrah.
Dalam pengambilan sumber hukum pada era sahabat dan tabi`ien, merujuk pada al-Qur`an dan as-Sunnah. Apabila tidak mendapatkan keduanya mereka merujuk ijtihad para sahabat dan baru setelah itu mereka melakukan ijtihad sesuai dengan kaidah-kaidah ijtihad para sahabat.
Dalam perkembangannya banyak terjadi perbedaan pendapat dalam pengambilan sumber hukumnya. Antara lain beberapa para Fuqaha yang berada di kota Irak yang banyak menggunakan rasionalitas. Mereka juga bukan hanya menggunakannya sebatas pengambilan hukumnya saja, tetapi beberapa peristiwa yang belum terjadi pun dapat diprediksikan dan diambil hukumnya yang dipelopori oleh Ibrahim bin Yazid an-Nakh`ie yang banyak mewariskan pemikiran fiqh rasionalitas kepada Abu Hanifah. Tetapi yang perlu digaris bawahi disini adalah aliran rasionalitas tidak dapat berjalan dengan mulus. Karena banyak mengundang pertentangan dan reaksi. Diantaranya adalah ulama-ulama Hijaz (Madinah) yang beranggapan aliran ini menyeleweng dari Manhaj para sahabat hingga berpaling dari ajaran Rasulullah. Tetapi bukannya fragmentasi fiqhiyah pada periode "memasung" perkembangan fiqh, sebab apresiasi yang diambil dari gagasan Ibrahim dan Ulama-ulama Irak banyak mengadakan pertemuan dan dialog untuk membicarakan persoalan yang berkembang.
Hingga pada akhirnya perkembangan berikutnya terjadi pembaruan pluralisme, heterogenitas pemikiran baik di Irak maupun Hijaz sendiri yang sangat membantu Tsarwah Fiqhiyah. Berangkat dari perbedaan pemikiran tadi muncul banyak perbedaaan ikhtilafiyah.
Hingga Dr. Thaha Jabir dalam bukunya Adabul Ikhtilaf Fil Islam, menyebutkan bahwa benih-benih meluasnya ikhtilaf sebenarnya telah tumbuh pada masa pemerintahan ketiga, yaitu `Ustman bin Affan. `Ustman adalah khalifah pertama yang memerintahkan para sahabatnya untuk menyebar ke berbagai daerah. Lebih dari sekitar 300 sahabat pergi ke Basyrah dan Kuffah, sebagian lagi ke Mesir dan Syam. penyebaran ini hingga meluas pada para tabi`ien dapat dipahami karena setiap daerah masing-masing mempunyai perbedaan situasi, kebiasan dan kebudayaan, disamping dari kapasitas pemahaman para Fuqaha. Menurut pendapat Ibnul Qayyim mencatat bahwa perkembangan fiqh pada periode ini disebarkan oleh empat Fuqaha sahabat terkemuka. Antara lain pengikut Ibnu Mas`ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Abbas. Orang-orang madinah misalnya banyak mengikuti pendapat fiqh dari pengikut Zaid bin tsabit dan Abdullah bin Umar. Sedangkan orang-orang Mekkah mengikuti pendapatnya dari Abdullah bin Abbas dan di Irak diwarisi oleh fiqh Ibnu Mas`ud.
Selain dari perbedaan pendapat antara ulama Irak dan Hijaz dan muncul aliran maupun sekte dalam Islam, dalam periode ini juga dikenal dengan banyaknya periwayatan Hadis. Periode ini para Tabi`ien menampakkan kesungguhannya dalam mencari dan meriwayatkan Hadis. Dan tradisi ini menjadi amat penting dalam perkembangan fiqh dan hadis. Salah satunya adalah Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah ke delapan dari bani Umayah sering disebut-sebut khalifah pertama yang sering banyak mengumpulkan hadis dan menuliskannya.

PENUTUP
Kesimpulan

Dari suatu segi, ilmu fiqh, seperti halnya dengan ilmu-ilmu keislaman yang lainnya dapat dikatakan telah tumbuh semenjak masa Nabi sendiri. Jika "fiqh" dibatasi hanya kepada pengertian "hukum" seperti yang sekarang dipahami oleh banyak orang, maka akar "hukum" yang erat kaitannya dengan kekuasaan itu berada dalam satu peranan nabi sendiri selama beliau mengemban tugas suci kerasulan (risalah) khususnya periode sesudah hijrah ke Madinah, yaitu peranan sebagai pemimpin masyarakat politik (Madinah) dan sebagai hakim pemutus perkara.
Di era bani umayah perkembangan fiqh membingungkan banyak pengamat. Karena akibat dari warisan pergolakan antara `Ustman dan Ali radliallhuanhuma. Hingga sampai pada pemerintahan daulah Umayyah. Hingga sampai melahirkan agitas teologi yang cukup tajam. Sehingga banyak pengamat sejarah yang mengatakan bahwa dalam periode ini perkembangan fiqh tenggelam di bawah perpecahan antara kesatuan agama dan negara.
Bahwa pergolakan daulah Umayyah yang membawa agitas teologi, ternyata membawa pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan fiqh berikutnya yaitu era kodifikasi yang munculnya Imam-imam mazhab. Pada pembahasan "fiqh dalam era keemasan". Sehingga fiqh dari masa kemasa mempunyai kesinambungan antara yang satu dengan yang lain. Periode ini dalam perkembangan fiqhnya bermula ketika pemerintahan Islam diambil alih oleh Muawiyah bin Abu Sofyan tahun 41 H. hingga awal abad kedua Hijrah.
dalam periode ini juga dikenal dengan banyaknya periwayatan Hadis. Periode ini para Tabi`ien menampakkan kesungguhannya dalam mencari dan meriwayatkan Hadis. Dan tradisi ini menjadi amat penting dalam perkembangan fiqh dan hadis. Salah satunya adalah Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah ke delapan dari bani Umayah sering disebut-sebut khalifah pertama yang sering banyak mengumpulkan hadits dan menuliskannya.
DAFTAR PUSTAKA :
http://www.darussholah.com/cetak.php?id=308

Abd. Salam Arief, Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta : Lesfi, 2003

Al- Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Kuwait : Dar al-Bayan, 1388 H/1968 M, Jilid I.

Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 1998.

Husni Rahiem, Perkembangan Ilmu Fiqh Di Dunia Umat Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1992.

M. Noor Matdawam, Lintasan Sejarah Pembentukan dan Pembinaan Hukum Islam, Yogyakarta : CV Bina Usaha, 1983.

Mun`im A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam Sebuah pengantar, Surabaya : Risalah Gusti, 1995.

Norman J. Coulsan, A History Of Islamic law, Edinburgh, 1964.

Nurkholis Majid, Islam Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta : Paramadina, 1992.

3 komentar:

  1. ass...
    slam knal mas,,,
    artikel jnengan sngat mmbntu sya,,
    trma ksih...

    BalasHapus
  2. waalaikum salam..

    terima kasih kembali... salam kenal...
    sama sama msh bljr mas...
    saya liyt halaman anda bagus juga. bakat putis..

    BalasHapus