S U G E N G R A W U H

Selamat Datang Di Halaman Kami

Monggo

Jumat, 02 Desember 2011

KONSEP KELUARGA SAKINAH MENURUT AL QUR'AN

Allah SWT. berfirman dalam surat Al Baqarah : 187

هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ



mereka (para istri) adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.

dari petikan ayat diatas, sebenarnya Allah telah memberikan konsep secara sederhana dalam membina keluarga {baca: pasutri} yang sakinah (penuh ketenangan dan ketentraman), mawaddah (penuh cinta), Ar Rahmah (penuh kasih).

dari beberapa kata mulia diatas, jika bisa memahaminya dengan mendalam, sebenarnya memilki makna yang sangat luas dan komprehensip {jami' mani'}. sungguh Maha Cerdas Allah dalam memberikan matsal atau perumpamaan untuk PASUTRI.

Allah SWT. memakai istilah Pakaian (Al Libas) untuk menggambarkan sosok seorang suami dalam sebuah rumah tangga sebagaimana juga Allah menggambarkannya sebagai sosok istri.

Masya Allah......! pakaian, sepertinya memang hal biasa dan yang biasa kita pakai sehari-hari, yang kadang juga pakaian biasa saja, kadang juga yang ber-merek mahal, karena diakui atau tidak memakai pakaian bermerek lebih bisa menambah pe-de bagi sang pemakai, juga bisa meningkatkan strata sosial dilingkungan sekitar, karena sudah bisa dipastikan/diperkirakan/disangka sang pemakai adalah orang ber-duit alias tajir.tapi ternyata tidak sesederhana itu permasalahannya, dan ceritanya juga akan berbeda ketika sebuah kata atau istilah pakaian dipinjam oleh Allah SWT. untuk menghiasi untaian indah dalam Al Quran-Nya, yaitu kitab suci yang menurut survei adalah kitab suci yang paling banyak dibaca dan dihafal oleh orang seluruh dunia setiap harinya.



kembali keayat diatas, Allah SWT. berfirman yang artinya "mereka (para istri) adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka" artinya bahwa, berangkat dari fungsi pakaian secara garis besar menurut versi syara' adalah

1. menutupi 'aurot

2. melindungi tubuh atau badan

3. menghiasi atau memperindah penampilan

mengapa (saya) dalam tulisan ini memakai istilah versi syara' , adalah lebih karena dizaman sekarang yang penuh dengan hegemoni life style (gandrung kepada gaya hidup) telah terjadi pergeseran makna, fungsi dan tujuan berpakaian. dizaman sekarang ini pakaian lebih merupakan suatu hiasan atau befungsi memperindah tubuh, bukan untuk tujuan menutup aurot atau melindungi tubuh dari panas matahari atau hal lain. buktinya disana (semoga tidak disini) makin banyak cewek yang keluar rumah dengan kostum seadanya (hmmmmmmmm.... kaifa nadzortu wakaifa la andzuru).

kembali ke fungsi pakaian versi syara' yakni :

1. menutupi aurot

artinya adalah bahwa seorang istri seharusnya/idealnya bisa menjadi satir/penutup sang suami (dan sebaliknya), bisa menjaga rahasia-rahasia sang suami, bisa menutupi kekurangan suami dan bisa melengkapi dan menjadi pelengkap yang baik nan indah bagi suami (dan sebaliknya).

2. melindungi tubuh atau badan

artinya adalah bahwa seorang istri hendaknya bisa melindungi suaminya (dan juga sebaliknya) dari segala hal yang tidak meng-enakkan, hal yang bisa menyakitkan, hal yang bisa membuat retaknya bahtera rumah tangga.

3. menghiasi atau memperindah penampilan

artinya adalah ketika sang istri (juga sang suami) sudah bisa menjalankan apa yang telah disebutkan pada poin 1, dan 2, hendaknya seorang istri (juga suami) bisa menjadi perhiasan yang menghiasi suami (dan sebaliknya), dan bisa memperindah sang suami (dan sebaliknya), jika sang istr/suami bisa melakukan ini dengan baik, niscaya kekurangan-kekurangan, ketidak- indahan dan ketidak harmonisan dalam rumah tangga akan bisa tertutupi dan terlengkapi.



begitulah, Allah membuat matsal/perumpamaan dari sesuatu yang agaknya sederhana untuk menguraikan hal yang sebenarnya sangat fundamen dalam tatanan kehidupan dimasyarakat, inilah salah satu bentuk kehebatan bahasa Al Quran, salah satu keindahan struktur kata dalam Al Quran, yang tidak akan ada pujangga dimanapun bisa melakukan apa lagi menandinginya.

semoga (kita) bisa menjadi pakaian yang baik bagi pasangan (sah/resmi) kita masing-masing dan juga sebaliknya



myroom, Friday, December 02, 2011, 11.46 PM

Senin, 31 Oktober 2011

ANTARA AKAL DAN SYAHWAT

Sebagian Ulama' (Radliahhahu 'Anhu) dawuh: Allah SWT. menciptakan Makhluk dalam tiga jenis. PERTAMA : makhluk yang diberi syahwat tanpa diberi akal, mereka adalah hewan/binatang dan sejenisnya. KEDUA: makhluk yang diberi akal tanpa diberi syahwat, mereka itu adalah para malaikat. KETIGA: makhluk yang diberi akal dan juga diberi syahwat, makhluk jenis ini adalah yang dinamakan manusia. Maka barang siapa akalnya bisa mengalahkan syahwatnya maka ia lebih baik daripada dari pada malaikat, karena ia mau dan mampu ber-mujahadah melawan dorongan syahwat dan nafsunya, dan barang siapa syahwatnya mengalahkan akalnya maka ia lebih buruk daripada binatang.* * difahami dari Kitab Al Muntakhobat Karya Hadrotus Syaikh Al Murobbi Al Mursyid Achmad Asrori Al Ishaqi RA. Juz. 1, Hal. 246 Cet. Kedua.

Sabtu, 29 Oktober 2011

MUKHTALIF AL HADITS

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sumber hukum islam yang Muttafaq ‘Alaih setelah Al-Qur’an adalah hadis}, sebagai rujukan dan dasar utama, sudah barang tentu hadis} harus dipastikan otentitas, legalitas dan keabsahannya. hadis} yang merupakan segala hal yang dikaitkan pada Nabi SAW. baik berupa ucapan, perbuatan, dan persetujuan (taqrir), berfungsi sebagai verbalisasi Al-Qur’an, karena banyak redaksi Al-Qur’an yang bersifat umum dan global dijelaskan dan dirinci oleh Nabi SAW. Mengenai otentitas dan keabsahan segala yang diucapkan oleh Nabi SAW. Al-Qur’an telah menyinggung hal ini dalam surat An-Najm ayat 3 yang berbunyi :
          
Artinya :
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
Berdasarkan ayat diatas ‘ulama berpendapat bahwa kedudukan Al-Sunnah adalah sama dengan Al-Qur’an dalam segi otentitas dan keabsahannya.
Namun pada perkembangannya, dalam ranah kajian hadis} ‘ulama menemukan beberapa petunjuk hadis} Nabi SAW. yang tampak saling bertentangan (ikhtila>f) antar satu dengan yang lain, sehingga menyulitkan dalam menjadikannya sebagai hujjah atau istidlal hukum, akhirnya ‘ulama merumuskan ide peng-kompromi-an hadis}-hadis} yang tampak saling ta’arrud, mulai dari Al-Jam’u, Al-Tarjih, kemudian Al-Naskh dan terakhir Al-Waqf, Sehingga ada jalan keluar yang membuahkan keyakinan bahwa tidak ada pertentangan antara petunjuk hadis Nabi SAW. yang satu dengan yang lain, karena pada dasarnya bisa dikompromikan, pertentangan itu hanyalah secara kasat mata atau secara dhohir saja.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana menyikapi dan menanggapi petunjuk hadis} Nabi SAW. yang tampak bertentangan?
2. Mana contoh hadis} yang tampak bertentangan?
















BAB II
PEMBAHASAN
A. Ilmu Mukhtalaf Al-Hadis}
Dalam kaidah bahasa Mukhtalaf Al-Hadis} adalah susunan dua kata benda (isim) yakni Mukhtalaf dan Al-Hadis}. Mukhtalaf sendiri adalah isim maf’ul dari kata ikhtalafa yang berarti perselisihan dua hal atau ketidaksesuaian dua hal, secara umum apabila ada dua hal yang bertentangan, hal tersebut bisa dikatakan mukhtalaf atau ikhtila>f.
Sedangkan dalam istilah ahli hadis}, Mukhtalif Al-Hadis (dengan dibaca kasroh lam’)} adalah hadis yang - secara dhohir - tampak saling bertentangan dengan hadis} lain. dan dengan dibaca fathah lam’nya adalah dua hadis} yang secara makna saling bertentangan. dari dua definisi diatas bisa disimpulkan bahwa Mukhtalif Al-Hadis adalah adalah esensi hadis} itu sendiri, sedangkan Mukhtlaf Al-Hadis adalah pertentangannya.
Secara umum dan mudah, Muhktalaf Al-Hadis} adalah upaya ‘ulama untuk mengkompromikan hadis}-hadis} yang tampak saling bertentangan maknanya berlandaskan pada kaidah-kaidah yang telah disepakati dan ditentukan oleh para pakar dibidangnya. dan secara term ilmiah bisa penulis simpulkan bahwa Muhktalaf Al-Hadis} adalah ilmu yang berisi tentang kaidah-kaidah dalam mengkompromikan hadis}-hadis} yang secara dhohir tampak bertentangan.
B. Urgensi Memahami Ilmu Mukhtalaf Al-Hadis}
Bahwasanya memahami hadis} Nabi SAW. dengan pemahaman yang sehat, kuat, dan jernih serta dalam, dan juga melakukan istinbat hukum dari hadis} tersebut secara benar dan sah tidak bisa terlaksana dengan sempurna kecuali didukung dengan pengetahuan tentang Mukhtalaf Al-Hadi>s}, sehingga mau tidak mau (willy or not) bagi seorang ilmuan (‘ulama) yang berkecimpung dalam bidang tersebut memahami Mukhtalaf Al-Hadis} merupakan sebuah keniscayaan.
Saking pentingnya memahami Muhktalaf Al-Hadis}, para ‘ulama bervariasi dalam memposisikan (Makanah) Ilmu Muhktalaf Al-Hadis}.
Diantara mereka adalah Ibnu Hazm Al-Dha>hiri, berikut statmennya :
"وهذا من أدق ما يمكن أن يعترض أهل العلم من تأليف النصوص وأغمضه وأصعبه"
Artinya (kurang lebih) :
“dan ini (maksudnya adalah Ilmu Muhktalaf Al-Hadis) merupakan salah satu disiplin ilmu yang sulit, rumit bagi seorang ilmuan (Ahl Al-‘Ilm) dalam merumuskan atau menjabarkan nash-nash hadis}”
Dan Imam Abu Zakariya Al-Nawawi mengatakan dengan ungkapan :
" هذا فنٌ من أهمِّ الأنواع، ويضطرُّ إلى معرفته جميع العلماء من الطوائف "
Artinya (kurang lebih) :
“dan ini (maksudnya adalah Ilmu Mukhtalaf Al-Hadis) merupakan salah satu fan ilmu terpenting. dan semua ‘ulama dari segala kelompok mutlak membutuhkan pengetahuan tentang ilmu ini.”
Terkait urgensi Ilmu Mukhtalaf Al-Hadits Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :
" فإن تعارض دلالات الأقوال وترجيح بعضها على بعض بحر خضم"
Artinya (kurang lebih):
“sesungguhnya pertentangan (secara dhahir) antara beberapa petunjuk dalil dan melakukan tarjih pada sebagian dalil tersebut merupakan samudera yang sangat luas (artinya sangat luas dan rumit)”

C. Memahami dan Menyikapi Petunjuk Hadis} yang Tampak Bertentangan
Sebenarnya para ‘ulama mulai berabad-abad tahun yang lalu telah mencurahkan perhatian dalam memahami hadis} Nabi SAW. secara mendalam dan teliti, disamping itu mereka juga berusaha keras untuk menhindari dan mencegah asumsi tentang pertentangan antara hadis} satu dengan lain, hal ini berimplikasi pada para ilmuan setelahnya dalam memperlakukan teks-teks hadis} nabi sebagai istidla>l hukum,
Upaya ‘ulama tersebut juga memberikan tarbiyah atau ajaran dan pemahaman tentang penyucian terhadap wahyu Allah SWT. baik yang berupa Al-Qur’an maupun Al-Hadis}, sehingga tidak akan mungkin terjadi pertentangan. dalam rangka menepis anggapan tersebut para ‘ulama berupaya (ijtihad) untuk melakukan kompromi (Al-Jam’u wa Al-Taufiq) antara dalil yang bertentangan secara dhohir, ini sekali lagi dilandasi keyakinan bahwa bagaimanapun juga tidak mungkin ada ta’arudh antara teks-teks wahyu.
Terkait hal ini Ibnu Al-Qayyim memiliki ungkapan yang indah, berikut statmennya:
"فصلوات الله وسلامه على من يصدّق كلامه بعضه بعضاً، ويشهد بعضه لبعض ، فالاختلاف والإشكال والاشتباه إنما هو في الأفهام ، لا فيما خرج من بين شفتيه من الكلام ، والواجب على كل مؤمن أن يَكِلَ ما أشكل عليه إلى أصدق قائل ، ويعلم أن فوق كل ذي علم عليم"

Artinya (kurang lebih):

“semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi yang umgkapannya membenarkan ungkapan yang lain, yang ungkapannya mengakui ungkapan yang lain, maka apabila ada ikhtilaf, isykal, dan isytibah itu merupakan dalam ranah pemahaman manusia yang lemah, bukan merupakan hakikat dari ucapan keluar dari kedua bibirnya, maka menjadi kewajiban bagi setiap mukmin untuk mengembalikan apa yang ia anggap musykil kepada ungkapan yang paling mendekati kebenaran (tarjih), dan agar setiap orang mukmin tahu bahwa diatas orang yang berilmu ada orang yang lebih alim ”


D. Tampaknya Pertentangan diantara Petunjuk Hadis} Nabi SAW.

1. Pertentangan secara Hakiki
Pertentangan secara hakiki adalah ketidaksesuaian yang sangat jelas antara dua dalil yang sama derajatnya dan pada satu masa, dan hal ini mutahil terjadi pada hadis} Nabi SAW., karena kesemuanya itu merupakan wahyu dari Allah swt. Sesuai dengan ayat dalam surat An-Najm 3-4:
وما ينطق عن الهوى (3) إن هو إلا وحي يوحى (4)
Artinya :
“3. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.4.Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
wahyu adalah sebuah kebenaran mutlak dan tidak bisa diganggu gugat, karena itu murni dari Allah SWT. hal ini telah dijelaskn oleh Allah SWT dalam surat An-Nisa’ayat 82:
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا (82)
Artinya :
“kalau kiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”
Imam Ibnu Al-Qayyim mengatakan :
"وأما حديثان صحيحان صريحان متناقضان من كل وجه ليس أحدهما ناسخاً للآخر فهذا لا يوجد أصلاً ، ومعاذ الله أن يوجد في كلام الصادق المصدوق - صلى الله عليه وسلم - الذي لا يخرج من بين شفتيه إلا الحق"
Artinya (kurang lebih):
“adapun kejadian ada dua hadis} shahih yang sama-sama shari>h seakan –akan saling bertentangan dari segala sisi serta tidak ditemukan adanya unsur Nasikh Mansukh, maka yang seperti ini tidak ada sama sekali, -aku berlindung kepada Allah- seumpama ada ucapan yang keluar dari kedua bibir Nabi Muhammad SAW. yang Al-Sha>diq Al-Masdhu>q”
2. Pertentangan Secara Dhahir
Adalah Al-Wahmu atau pemahaman, prasangka, indikasi dalam hati seseorang secara panca indera, akan tetapi tidak terjadi dalam kenyataan. Mengenai hal ini Imam Ibnu Al-Qayyim menjelaskan beberapa sebab terjadinya penampakan sebuah pertentangan petunjuk hadis} Nabi SAW. ia mengatakan : sebenarnya tidak ada pertentangan antara hadis} shahih, apabila ada indikasi tersebut, maka ini tidak bisa lepas dari 3 kemungkinan:
Pertama : ada kemungkinan salah satu dari dua hadis} tersebut adalah bukan hadis} sebenarnya hadis} asli dari Nabi SAW. dikarenakan adanya kecacatan dari salah satu rawi meskipun dia diklaim sebagai seorang s}iqah.
Kedua : ada kemungkinan hadis} yang satu merupakan Nasikh terhadap hadis lainnya ketika memang hal tersebut dimungkinkan.
Ketiga : pertentangan tersebut sebenarnya terjadi pada pemahaman seorang peneliti, bukan pada esensi hadis} Nabi SAW. hal ini terjadi karena kecerobohan, kelalaian, dan kelemahannya dalam memahami dalil, kedangkalan ilmunya dalam membedakan antara dalil yang shahih dan yang ma’lu>l, sehingga ia menerapkan suatu dalil bukan pada madlul-nya yang sebenarnya.

E. Toeri Penyelesaian Pertentangan Petunjuk Hadis} Nabi SAW.
Menurut pendapat ‘ulama jumhur teori penyesaian pertentangan petunjuk hadis} Nabi SAW. adalah dengan menggunakan beberapan hal berikut :
1. Memakai teori Al-Jam’u baina Al-Hadi>s}aini atau menkompromikan kedua hadis} tersebut, hal ini dikarenakan diantara dua hadis} tidak bisa lepas dari kemungkinan antara ke-umuman dan ke-khususan, mut}laq dan muqayyad, serta mujmal dan mubayyan. Ini berlandaskan dengan kaidah yang sudah ditetapkan oleh ‘ulama bahwa I’ma>l Al Kalam Aula Min Ihma>lihi atau menerapkan ungakapan/dalil lebih utama daripada membiarkannya.
2. Memakai teori Al-Naskhu atau menggugurkan dalil satu dengan dalil lain, hal ini dilakukan apabila tidak dimungkinkan teori Al-Jam’u, teknisnya adalah dengan menulusuri waktu munculnya (Wuru>d Al-Hadis}) agar diketahui hadis} mana yang lebih dahulu dan mana yang lebih akhir, maka kemudian yang akhir dianggap telah merusak/menghapus (Al-Na>sikh) terhadap hadis} yang pertama.
3. Memakai teori Al-Tarji>h. hal ini dilakukan ketika dua teori diatas tidak memungkinkan, yakni dengan menguatkan satu diantara dua hadis} tersebut dengan memandang sudut pandang masing-masing kekuatan dari dalil, bukan semata-mata hawa nafsu atau kepentingan pribadi.
Mengenai hal ini Imam Syafi’i memberikan arahan dan penjelasan : termasuk dari menggunakan teori Al-Tarjih adalah bahwasanya diantara kedua hadis} tersebut tidak bisa lepas dari kemungkinan paling mendekati pada Al-Qur’an, atau paling mendekati dengan sunah-sunah Nabi SAW>., selain dua hadis} yang mukhtalaf tersebut, atau lebih mendekati pada Qiyas, maka menurutku hadis} itulah yang saya menangkan.

4. Memakai teori Al-Tawaqquf. Teori ini digunakan apabila ketiga cara diatas sudah tidak memungkinkan, teori ini berlaku sampai ditemukan dalil lain yang mendukung.
Dalam konteks ini Imam Al-Sya>tibi berpendapat bahwa ma-mauquf-kan keputusan ketika tidak dimungkinkan tarjih adalah menjadi hukum wajib. Senada dengan Imam Al Syati>bi adalah Imam Al-Sakhowi >, ia mengatakan bahwa melakukan tawaqquf lebih utama daripada melakukan pengguguran (tasaqquth) dalil, karena kesamaran pemahaman terhadap dalil itu terjadi pada seseorang pada waktu saat itu, padahal ada kemungkinan hal tersebut tidak samar lagi bagi seseorang lain, karena diatas orang ‘alim ada orang yang lebih alim.

F. Contoh Hadits Yang Tampak Bertentangan
Berikut penulis paparkan contoh hadis} Nabi SAW. yang tampak bertentangan antara satu dengan yang lain, namun bisa dikompromikan sehingga pertentangan itu bisa disikapi.
Dalam hadis} riwayat yang di takhrij oleh Abu Dawud nomor indeks 203, Rasulullah SAW. bersabda yang artinya : “barang siapa tidur, maka hendaklah ia wudhu’…!”. Sedangkan dalam hadis} yang di takhrij oleh Muslim nomor indeks 376., riwayat Anas bin Malik (ia berkata) : “suatu ketika iqamat (shalat) telah dikumandangkan, namun pada waktu itu Nabi SAW. masih bercakap-cakap dengan seorang laki-laki sampai waktu yang cukup lama sehingga para shahabat (ter)tidur, kemudian Nabi SAW. datang dan shalat bersama mereka”. dan pada redaksi yang lain dengan riwayat yang sama (Anas berkata): “para shahabat Rasulullah SAW. (pernah) tidur, kemudian mereka melakukan shalat dan mereka tidak melakukan wudhu’.”
Dari dua hadis} diatas nampak ketidaksingkronan, disatu sisi ada perintah wudhu’ dari Rasulullah SAW., pada orang yang yang tidur, dan disisi lain para sahabat (ter)tidur kemudian melakukan shalat bersama Nabi SAW. akhirnya para ‘ulama mengkompromikan kedua hadis} diatas, yakni hadits yang pertama diarahkan pada orang yang tidur dalam posisi ghairu mutamakkinin maq’adahu (tidak menetapkan pantatnya kebumi/lantai), sedangkan hadis} kedua diarahkan pada tidur dengan posisi mutamakkinin maq’adahu (menetapkan pantatnya kelantai). Landasan pemikiran diatas adalah bahwa para shahabat pada waktu itu sedang duduk dengan menetapkan pantat kelantai, karena mereka berada dimasjid menunggu shalat jama’ah, dan berkeyakinan bahwa Nabi SAW. akan datang dengan tiba-tiba dan melakukan shalat dengan mereka. Sehingga dalam rumusan fiqih syafi’i tidur dengan posisi mutamakkinin maq’adahu tidak membatalkan wudhu’

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Para ‘ulama sejak dari beratus telah melakukan pemahaman yang dalam dan mendalam serta teliti terhadap hadis} Nabi SAW. mereka memiliki keyakinan bahwa hadis} merupakan sejajar dengan Al-Qur’an dalam otentitas dan keabsahannya, maka dari itu mereka meyakini bahwa secara hakikat tidak ada pertentangan atau ikhtilaf diantara hadis} satu dengan hadis} lainnya, kalau memang terjadi itu hanya secara lahiriyah atau kasat mata saja.
Dalam menyikapi petunjuk hadis} Nabi SAW. yang tampak bertentangan para ‘ulama telah merumuskan beberapa metode penyelesaian, yakni mulai dari:
1. Aj-Jam’u wa Al-Taufi>q
2. Al-Naskhu
3. Al-Tarji>h
4. Al-Tawaqquf.

THANTAWI JAUHARI & TAFSIR SAINSNYA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
al-Qur’an yang notabenenya menjelaskan segala hal, secara tersurat maupun tersirat telah banyak menyinggung fenomema alam (dhawahir al-‘alam), Dan itu jauh masanya sebelum manusia diera ini mengenal dan mengembangkan ilmu pengetahuan dibidang sains (science). Sebagai contoh ayat yang menceritakan tentang perjalanan spiritual Nabi Ibrahim dalam mencari Tuhan, pertama ia melihat bintang dimalam hari, lalu melihat bulan dan kemudian melihat matahari, Allah SWT. memperlihatkan fenomena alam tersebut kepada Nabi Ibrahim tidak lain hanya agar supaya ia mengakui kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. atas segala sesuatu.
Sebagaimana al-Qur’an telah banyak menyinggung tentang alam semesta, tafsir al-Qur’an juga mengalami kemajuan dan perkembangan corak ragamnya, tidak seperti periode awal, di era kontemporer makin bermunculan corak tafsir ‘ilmi yang salah satunya adalah mengenai al-ilm al-thabi>’iyah atau ilmu sains. Thanthawi Jauhari merupakan salah satu ilmuan kontemporer yang melakukan terobosan penafsiran jenis ‘ilmi, ia menulis kitab tafsir yang diberi judul Al-Jawahir yang banyak mengupas tentang sains dan ilmu pengetahuan. Terlepas dari kontroversi boleh tidaknya tafsir bil 'ilmi, yang pasti tafsir ini memberi kontribusi penting dalam dunia penafsiran.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana corak penafsiran Thanthawi Jauhari dalam Kitab Al-Jawahirnya?
2. Apa yang melatarbelakangi Thanthawi Jauhari menulis Kitab Al-Jawahir?

C. Tujuan Penelitian
1. Ingin mengetahui hal yang melatarbelakangi Thanthawi Jauhari menulis Kitab Al-Jawahir.
2. Ingin mengetahui corak penafsiran Thanthawi Jauhari dalam Kitab Al-Jawahirnya.

D. Kajian pustaka
1. Muhammad Husein Adz Dzahabi, at Tafsi>r wa al Mufassiru>n, (Maktabah Mus’ab bin Umair al Islamiyah).tt. kitab ini yang merupakan rujukan utama penulisan makalah ini mengupas tuntas mengenai latar belakang, sepak terjang dan metode yang digunakan Thanthawi Jauhari dalam menulis Al-Jawahir.
2. Jauhari, Thanthawi, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur'an al-Karim, (dalam Software Maktabah Syamilah) penulis tidak banyak membaca kitab ini secara langsung, karena keterangannya banyak kami ambil dari kitab Tafsir Wa al Mufassirun.
3. Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005. Dalam buku ini penulis mengambil keterangan mengenai jenis atau metode-metode tafsir al-Qur’an.
4. Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, Tafsir al-Maraghi Jilid 10, Beirut, Dar al-Fikr, t.th. dalam kitab ini penulis mengambil sebagai perbandingan dengan al-Jawahir.
5. Hijazi, Muhammad Mahmud, Tafsir al-Wadhih, jilid 3, Beirut, Dar al-Jil, 1993. dalam kitab ini penulis mengambil sebagai perbandingan dengan al-Jawahir.
6. http://nazil06.blogspot.com/2010/01/tafsir-jawahir.html#comment-form (diakses pada tanggal 24 Juni 2011) penulis banyak mengutip teks dari blog ini sebagai tambahan referensi dan pemudahan dalam memahami Al-Jawahir.

E. Out line
Makalah ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I
Pendahuluan
a. latar belakang masalah
b. rumusan masalah
c. tujuan penelitian
d. kajian pustaka
e. out line,
BAB II
Landasan Teori
BAB III
Data Dan Analisis
BAB IV
Penutup
Kesimpulan















BAB II
LANDASAN TEORI

A. Biografi Thanthawi Jauhari
Pada tahun 1870 M di wilayah al-Ghar, Thanthawi Jauhari dilahirkan. Ia berasal dari keluarga petani yang sederhana. Namun orang tuanya menginginkannya tumbuh sebagai orang berpredikat terpelajar. Karena itu, setelah menamatkan serangkaian pendidikan formal di kota kelahirannya, ia dikirim ke universitas al-Azhar kairo untuk mendalami ilmu-ilmu agama.
Di universitas al-Azhar, ia bertemu dengan seoragng pembaharu terkemuka, Muhammad Abduh. Baginya, Abduh bukan sekedar guru, tetapi juga mitra dialog. Pergesekan pemikiran dengan Abduh memercikkan pengaruh besar pada pemikiran dan keilmuannya terutama dalam bidang tafsir.
Sebagai akademisi, Thanthawi aktif mencermati perkembangan ilmu pengetahuan. Caranya beragam, mulai dari membaca berbagai buku, menelaah artikel di media massa, hingga menghadiri berbagai seminar keilmuan. Dari beberapa ilmu yang dipelajarinya, ia tergila-gila pada ilmu tafsir.
Di samping itu, Thanthawi juga fasih berbicara tentang fisika. Menurutnya, ilmu itu harus dikuasai oleh umat Islam. Hanya dengan cara itu maka anggapan bahwa Islam adalah agama yang menentang ilmu pengetahuan dan teknologi dapat ditepis.

B. Metode Tafsir ‘Ilmy
Tafsir ilmy ialah penafsiran al-Qur’an yang menggunakan pendekatan istilah-istilah (term-term) ilmiah dalam rangka mengungkapkan al-Qur’an. tafsir ini berusaha keras untuk melahirkan berbagai cabang ilmu yang berbeda dan melibatkan pemikiran-pemikiran filsafat.
Menurut pendukung tafsir ilmy, model penafsiran semacam ini membuka kesempatan yang sangat luas bagi mufassir untuk mengembangkan berbagai potensi keilmuan yang telah dan akan dibentuk dalam dan dari al-Qur’an. al-Qur’an tidak hanya sebagai sumber ilmu agama yang bersifat i’tiqadiyah (keyakinan) dan amaliyah (perbuatan). Ia juga tidak hanya disebut al-‘ulu>m al-diniyah wal I’tiqadiyah wal amaliyah, tetapi juga meliputi semua ilmu keduniaan (al- ulu>m al-dunya) yang beraneka ragam jenis dan bilangannya.
Beberapa ulama yang memberi lampu hijau untuk mengembangkan tafsir ilmy ialah al-Ghazali (450-505 H/1057-1111 M), Jalal al-Din al-Suyuti (w.911 H/1505 M), Thanthawi jauhari (1287-1385 H/1870-1939 M). Muhammad Abduh (1265-1323 H/1849-1905 M). namun, tidak sedikit mufassir yang merasa keberatan terhadap penafsiran al-Qur’an yang bersifat ke-ilmu teknologian. Beberapa ulama yang mengingkari kemungkinan pengembangan tafsir ilmy adalah al-Syathibi (w.790 H/1388 M), ibnu Taimiyah (661-728 H/1262-1327 M), M. Rasyid Ridha (1282-1354 H/1865-1935 M), dan Mahmud Syaltut (13``11-1355 H/1839-1936 M).















BAB III
DATA DAN ANALISIS
A. Latar Belakang Thanthawi Jauhari dalam menulis Tafsir Al-Jawahir

Thanthawi termasyhur karena kegigihannya dalam gerakan pembaruan membangkitkan kepedulian masyarakat terhadap penguasaan ilmu pengetahuan. Karena itu, tidak berlebihan jika sejumlah kalangan menjulukinya "mufasir ilmu" lantaran ilmu yang dikuasainya sangat luas dan mendalam.
Dalam muqaddimah kitab tafsirnya, dijelaskan bahwa sejak dulu dia sering menyaksikan kejaiban alam, mengagumi dan merindukan keindahannya baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi, revolusi matahari, perjalanan bulan, bintang yang bersinar, awan yang berarak, kilat yang menyambar dan listrik yang membakar serta keajaiban-keajaiban lainnya.
Selanjutnya ia menyatakan :"Ketika aku berpikir tentang keadaan umat islam dan pendidikan-pendidikan agama, maka aku menuliskan surat kepada para pemikir (al-'Uqala') dan sebagian ulama-ulama besar (Ajillah al-Ulama') tantang makna-makna alam yang sering ditinggalkan dan tentang jalan keluarnya yang masih sering dilakukan dan dilupakan. Sedangkan sedikit sekali dari mereka yang mau berpikir tentang kejadian alam dan keanehan-keanehan yang melingkupinya".
Itulah yang mendorong Thanthawi menyusun pembahasan-pembahasan yang dapat mengkompromikan pemikiran Islam dengan kemajuan Studi Ilmu Alam.

B. Bentuk, Metode dan Corak Penafsiran Al-Jawahir
Untuk mengetahui bentuk, metode dan corak sebuah kirab tafsir, perlu diadakan perbandingan kitab aslinya dengan kitab tafsir yang lain. Kali ini akan diperbandingkan antara kitab Tafsir Jawahir, Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Wadhih.

1. Bentuk
Dalam berbagai macam literatur, istilah bentuk penafsiran tidak dijumpai dalam kitab-kitab 'ulum al-Qur'an (ilmu tafsir) pada abad-abad yang silam bahkan sampai periode modern sekalipun tidak ada ulama tafsir yang menggunakannya. Oleh karenanya tidak aneh bila dalam kitab-kitab klasik semisal al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an karangan al-Zarkasyi, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an karya al-Suyuthi, dan lain-lain tidak dijumpai term tersebut.
Namun dalam buku Wawasan Ilmu Tafsir yang ditulis oleh Nashruddin Baidan, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa penafsiran yang dilakukan olah para mufasir sejak pada masa Nabi sampai dewasa ini dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yakni tafsir bi al-ma'tsur dan bi al-ra'y.
Berangkat dari sini, tafsir Jawahir ini jika dilihat dengan apa yang telah disimpulkan oleh Nasruddin Baidan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tafsir ini menggunakan bentuk bi al-ra'yi. Karena dalam menafsirkan suatu ayat, Thanthawi murni menggunakan pemikirannya sesuai dengan kemampuan dia selain ahli sebagai seorang mufassir, juga ahli dalam bidang fisika dan biologi. Hal ini dapat terlihat dalam contoh (terlampir), ketika dia menafsirkan penciptaan manusia dari 'alaq (علق), beliau murni menggunakan kemampuan dia sebagai seorang yang ahli biologi di samping sebagai seorang mufasir, tanpa menyebutkan suatu riwayat yang berhubungan dengan 'alaq (علق).
Ini berbeda dengan penafsiran dengan bentuk bi al-Ma'tsur. Tafsir yang menggunakan bentuk bi al-ma'tsur sangat tergantung dengan riwayat. Tafsir ini akan tetap eksis selama masih ada riwayat. Kebalikannya jika riwayat habis, tafsir bi al-ma'tsur juga akan hilang.

2. Metode
Munculnya beragam kitab tafsir tidak dapat dipisahkan dari perbedaan metode penafsiran al-Qur'an. Metode di sini diartikan dengan cara kerja yang dilakukan secara sistematis. Jadi metode tafsir adalah cara (langkah dan prosedur) yang digunakan oleh mufasir untuk memahami al-Qur'an.
Jika diamati secara cermat metode yang digunakan oleh Thanthawi dalam tafsir ini adalah metode tahlili (analitis). Metode ini berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur'an dari seluruh aspeknya. Dengan metode ini, mufasir menjelaskan al-Qur'an secara luas dan rinci. Segala hal yang bertautan dengan al-Qur'an bisa dimasukkan dalam tafsir. Kata kunci penggunaan metode ini tidak terletak pada banyak tidaknya materi penafsiran, akan tetapi pada penafsiran yang runtut dan rinci. Ruang lingkup yang luas memungkinkan tafsir dengan metode ini memuat berbagai ide.
Demikian halnya dengan metode yang dipakai dalam tafsir ini. Thanthawi dengan analisisnya sebagai seorang mufasir sekaligus seorang yang menguasai ilmu-ilmu alam memberikan penafsiran secara runtut dan terperinci dengan ruang lingkup yang amat luas. Dalam contoh (terlampir) sudah terlihat dengan jelas, bagaimana dia ketika berusaha menjelaskan apa yang dinamakan 'alaq (علق). Dapat kita lihat betapa luasnya penjabaran yang dia berikan mengenai 'alaq (علق). Bahkan sampai mencakup tiga halaman sendiri, ini jelas berbeda dengan apa yang ada dalam tafsir al-Maraghi maupun dalam tafsir al-Wadhih.
Meskipun keduanya menggunakan metode yang sama dengan metode yang dipakai dalam tafsir Jawahir. Namun uraiannya tentang 'alaq (علق) tidak seluas dengan apa yang ada dalam tafsir. Dapat dibayangkan jika dalam tafsir Jawahir untuk menguraikan tentang 'alaq saja membutuhkan tiga halaman, sedangkan dalam tafsir al-Maraghi maupun al-Wadhih hanya berkisar dua sampai tiga baris saja sungguh perbedaan yang amat mencolok. Karena seperti telah dijelaskan di atas meskipun sama-sama menggunakan metode tahlili, tetapi kata kuncinya bukan terletak pada banyaknya materi penafsiran, akan tetapi pada penafsiran yang rinci dan runtut.

3. Corak
Corak penafsiran ialah suatu warna, arah, atau kecenderungan pemikiran atau ide tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir. Jadi kata kuncinya adalah terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran ide tersebut. Tetapi bila ada satu yang dominan maka disebut corak khusus.
Sedangkan corak yang digunakan dalam tafsir ini adalah corak tafsir bil 'ilmi. Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang tafsir bil 'ilmi, ada yang menolaknya dengan alasan bahwa teori-teori ilmiah jelas bersifat nisbi (relatif) dan tidak pernah final. Tetap ada yang mendukungnya dengan alasan bahwa al-Qur'an justru menggalakkan penafsiran ilmiah.
Tetapi jika kita lihat dalam contoh, jika kita bandingkan dengan tasir lainnya, ketika ketiga tafsir sama-sama berbicara tentang 'alaq (علق) terlihat dengan jelas bahwa tafsir Jawahir ini memang menggunakan corak tafsir bil 'ilmi.
Sebagai contoh ketika ketiga tafsir berbicara tentang 'alaq (علق). Kedua tafsir (al-Maraghi dan al-Wadhih) seperti tafsir-tafsir lainnya mengartikan makna 'alaq (علق) sebagai darah yang membeku atau sepotong darah yang beku (دم جامد/قطعة دم جامدة) yang tidak mempunyai panca indra, tidak bergerak dan tidak mempunyai rambut.
Berbeda halnya ketika Thanthawi menafsirkan tentang 'alaq (علق), dia memulai dengan perbandingan antara telur yang ada pada binatang aves (sejenis burung) dengan sel telur yang ada pada manusia. Menurutnya apa yang terjadi pada binatang tersebut sama dengan apa yang ada pada manusia. Telur pada hewan jenis burung mempunyai apa yang dinamakan putih dan kuning telur. Dan apa yang dinamakan jurtsumah (جرثومة), di mana jurtsumah ini yang menjadi dasar pembentukan manusia.
Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa ketika Thanthawi menafsirkan kata tersebut dia menggunakan ilmu biologi, berbeda jauh dengan yang dipakai oleh Maraghi maupun Hijazi. Hal ini membuktikan bahwa memang corak yang dipakai oleh Thanthawi adalah corak bil 'ilmi, menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pendekatan ilmiah, atau menggali kandungannya berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan yang ada.
Namun yang perlu diingat adalah tidak ada ayat al-Qur'an yang bersifat ilmiah, karena al-Qur;an adalah wahyu dan kebenarannya berdifat mutlak. Sedangkan ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah kebenarannya bersifat relatif. Al-Qur'an bukanlah kitab ilmu melainkan kitab hudan bagi manusia. Tetapi petunjuk al-Qur'an ada yang berbentuk lafdzi, isyarat, qiasi dan yang tersurat berkenaan dengan ilmu pengetahuan guna mendukung fungsinya sebagai hudan.



















BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Dalam muqaddimah kitab tafsirnya, dijelaskan bahwa sejak dulu ia sering menyaksikan kejaiban alam, mengagumi dan merindukan keindahannya baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi, revolusi matahari, perjalanan bulan, bintang yang bersinar, awan yang berarak, kilat yang menyambar dan listrik yang membakar serta keajaiban-keajaiban lainnya. Selanjutnya ia menyatakan :"Ketika aku berpikir tentang keadaan umat islam dan pendidikan-pendidikan agama, maka aku menuliskan surat kepada para pemikir (al-'Uqala') dan sebagian ulama-ulama besar (Ajillah al-Ulama') tantang makna-makna alam yang sering ditinggalkan dan tentang jalan keluarnya yang masih sering dilakukan dan dilupakan. Sedangkan sedikit sekali dari mereka yang mau berpikir tentang kejadian alam dan keanehan-keanehan yang melingkupinya". Itulah yang mendorong Thanthawi menyusun pembahasan-pembahasan yang dapat mengkompromikan pemikiran Islam dengan kemajuan Studi Ilmu Alam.
2. Corak penafsiran Al-jawahir adalah metode Tafsir Ilmi bi Al-Ra’yi Tahlili.

B. Saran
Sebagai seorang manusia yang memiliki segala keterbatasan dalam pemikiran dan usaha serta kemampuan, tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kiranya saran dan masukan yang bersifat positif dan membangun sangat diharapkan oleh penulis.




DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Husein Adz Dzahabi, at Tafsi>r wa al Mufassiru>n, (Maktabah Mus’ab bin Umair al Islamiyah).t.th.
Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.
Hijazi, Muhammad Mahmud, Tafsir al-Wadhih, jilid 3, Beirut, Dar al-Jil, 1993.
Jauhari, Thanthawi, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur'an al-Karim, (dalam software Maktabah Syamilah )
Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, Tafsir al-Maraghi Jilid 10, Beirut, Dar al-Fikr, t.th.
http://nazil06.blogspot.com/2010/01/tafsir-jawahir.html. (diakses pada tanggal 24 juni 2011)

TIGA KUNCI

Secara sederhana dalam menjalani hidup dan kehidupan yang religius sesuai ajaran Aslafuna As Sholih sebagai pegangan hidup dan kehidupan agar menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat Guru kita Hadrotusy Syaikh Al Murobby Al Mursyid Ahmad Asrori Al Ishaqi RA. memberikan tiga kunci pokok sebagai berikut:

1. Hasbuna Minal Ilmi Wahdaniyyatulloh .

yakni ilmu apa saja yang kita pelajari baik ilmu yang bisa membuahkan dzikir, ibadah, berjuang dijalan Allah swt. Ilmu yang berkaitan dengan kehidupan dunia maupun akhirat itu sudah dianggap cukup dan mencukupi apabila kesemuanya itu dikembalikan kepada pemiliknya yakni Allah SWT. jangan sampai ada anggapan rasa sombong dihati yang bermula dari terlalu membanggalan diri pada kemampuan akal yang sarat dan rawan akan kepentingan (hawa nafsu), karena pada dasarnya itu semua adalah anugerah pemberian Allah SWT. maka kita harus mengembalikan semuanya pada Allah meskipun keberadaan ilmu yang kita peroleh itu sedikit tapi kalo semuanya dikembalikan kepada Allah ilmu itu sudah dianggap cukup.

2. Hasbuna Minal 'Amal Mahabbatulloh Warosulihi Sollallohu 'Alaihi Wa Alihi Wa Sohbihi Wasallam .

Dalam menjalankan aktivitas apapun, baik yang berupa Ibadah atau bukan, dorongannya hanya satu yakni Mahabbah/rasa cinta kepada Allah dan Rosulnya, kalo kita menjalankan segala aktivitas dan amal ibadah didasari Mahabbah niscaya semuanya akan terasa ringan dan menyenangkan, berbeda halnya apabila kita menjalankan sesuatu tapi atas dasar paksaan bukan karena dorongan Mahabbah niscya semua akan terasa tidak nyaman, maka dari itu Dorongan-lah yang menjadi kunci pokok yakni Mahabbah, kalo kita sudah memilki pondasi rasa Mahabbah kepada Allah & Rosul-Nya Allah SWT. pun menjawab Yuhbibkumulloh. (Allah juga akan mencintai kalian). alangkah indahnya cinta bergayung sambut laksana pepatah jawa populer Tumbu Ketemu Tutup.

3. Hasbuna Minal Ittiba' I'tiqodul Haqqi Bi 'Ibadillahis Sholihin, Wal ijtima' Ma'ahum Wal Iqtida' Bihim.

kita harus memilki i'tiqod yang bagus kepada orang-orang yang Sholih, artinya kita harus berusaha menanamkan pada diri kita suatu keyakinan yang baik, i'tiqod yang baik kepada hamba-hamba Allah yang Sholih, Para Wali-wali Allah, para Ulama', Kiyai dan hamba-hamba Allah Yang Sholih.karena mereka semua adalah pewaris para Nabi terdahulu. setelah kita memilki i'tiqhod yang bagus dan baik terhadap beliau-beliau itu, kita harus berusaha sekuat tenaga dan kemampuan untuk bisa Ngumpul (ijtima' )dan berkumpul di Majlis-majlis orang-orang yang Sholih, dengan menghadiri Majlis dzikir, Maulid, Tahlil, Istighosah dan sebagainya. setelah kita sudah mulai terbiasa Ngumpul dengan Beliau-beliau di Majlis-majlis tersebut kita harus mulai belajar sedikit demi sedikit meniru (Iqtida' ), jangan terlalu banyak dulu, kita harus step by step meniru tindak lampah mereka, keseharian mereka, akhlaq mereka dan segala kebaikan-kebaikan yang mereka lakukan secara kontiyu dan istiqomah.*

Wallahu A'lam

24*08*2011. 02.30 AM.

* disarikan dan difahami dari Dawuh Beliau RA.dengan segala keterbatasan dan dangkalnya pemahaman penulis, bila ada yang kurang atau salah, kiranya bagi Ikhwanuna Fillah berkenan membetulkannya.

Selasa, 04 Januari 2011

MAKALAH HADITS MENGENAI ISTINJA'

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama yang komprehensif yakni menjelaskan semua aspek kehidupan manusia, mulai dari hal yang bertalian dengan hubungan antara manusia dengan Rabbnya (Hablum min Alloh) dan juga yang bertalian dengan hubungan antara manusia dengan sesamanya (Hablum min an Nas), salah satu hal yang mendapat perhatian tinggi dari islam ialah masalah istinja’.
Jika kita perhatikan dan amati dalam semua kitab – kitab fiqh hampir seluruhnya diawali dengan Bab Thoharoh, ini menendakan bahwa agama islam sangat menjunjung tinggi mengenai masalah kesucian, salah satu hal yang urgen dan pokok dalam hal bersuci adalah bersuci dari kotoran (Istinja’).
Dalam makalah singkat ini penulis akan memaparkan beberapa Hadits yang mendasari perintah untuk melakukan istinjak.

B. Identifikasi Masalah
Hadits – hadits Nabi Muhammad saw. Yang menjadi dasar hukum tentang Istinja’ dan beberapa tata kramanya.

C. Rumusan Masalah
1. Manakah hadits – hadits Nabi saw. Yang menjadi landasan hukum mengenai istinja’?
2. Apa pengertian dan hukum istinja’ ?
3. Bagaimana tata krama istinja’ menurut hadits ?



D. Tujuan penulisan
Ingin mengetahui dan memahami hadits – hadits Nabi saw. Yang menjadi landasan hukum mengenai istinja’ serta devinisi, hukum dan tata krama istinja’
E. Tinjauan Pustaka
1. Muhammad bin Isma’il bin Ibrohim bin Al Mughiroh Al Bukhori, Al Jami’ As Shohih.tt,tp
2. Muslim bin Al Hujjaj Al Qusyairi An Naisaburi, Shohih Muslim.tt,tp
3. Dr. Musthofa Khon, Dkk, Fiqhul Manhaji Ala Madzhabil Imam As Syafi’I, (Al Fithrah Surabaya), tt
4. Abdurrahman Al Jazairi, Kitabul Fiqh Ala Madzahib Al ‘Arbaah, Dar Al Kotob Al Ilmiyah, Beirut, cet. Ke 3, 2006.











BAB II
PEMBAHASAN

A. Hadits – hadits tentang istinja’

Mayoritas Ulama’ sepakat bahwa Istinjak hukumnya wajib, berdasarkan beberapa Hadits berikut ini.
1. Riwayat Bukhori dan Muslim dari Anas bin Malik ra. Ia berkata :
“كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يدخل الخلاء فأحمل أنا وغلام إداوة من ماء وعنزة يستنجي بالماء”
2. Riwayat Bukhori dan lainnya dari Ibnu Mas’ud ra. Ia berkata :
أتى النبي صلى الله عليه وسلم الغائط فأمرني ان آتيه بثلاثة أحجار .
3. Riwayat Abu Dawud dan lainnya dari ‘Aisyah rah. Bahwa Rosululloh saw. Bersabda :
إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْغَائِطِ فَلْيَذْهَبْ مَعَهُ بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ يَسْتَطِيبُ بِهِنَّ فَإِنَّهَا تُجْزِئُ عَنْهُ
4. Riwayat Muslim dari Salman ra. Nabi saw bersabda :
لاَ يَسْتَنْجِى أَحَدُكُمْ بِدُونِ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ
B. Kajian sanad riwayat Al Bukhori
1. Teks hadits dengan sanad lengkap
حدثنا محمد بن بشار قال حدثنا محمد بن جعفر قال حدثنا شعبة عن عطاء بن أبي ميمونة : سمع أنس بن مالك يقول كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يدخل الخلاء فأحمل أنا وغلام إداوة من ماء وعنزة يستنجي بالماء.
Artinya :
Becerita kepada kami Muhammad bin basyar, ia berkata : bercerita kepada kami muhamamd bin Ja’far, ia berkata : bercerita kepada kami Syu’bah dari Atho’ bin Aby Maimunah : ia mendengar Anas bin Malik berkata : “suatu ketika Rosululloh saw. Masuk ke Jamban, kemudian saya bersama seorang pemuda membawa bejana berisi air dan sebuah tongkat, lalu Nabi istinja’ dengan memakai air tersebut”
2. Paparan perawi hadits
Anas bin Malik
Atho’ bin Aby Maimunah
Syu’bah
Muhammad bin Ja’far
Muhammad bin Basyar
Imam Bukhori
3. Biografi dan kualitas perawi
- Anas bin Malik Al Qurasyi, seorang Shohabi, Tsiqoh.
- Atho’ bin aby maimunah, pembantu Anas bin Malik, L: tidak diketahui, W: 131 H. Tsiqoh, Shoduq menurut ibnu hajar
- Syu’bah bin Al Hajjaj bin Al Warid, pembesar atbaut tabiin, L: td, W: 160 H, Tsiqoh, Hafidz.
- Muhammad bin Ja’far Al Hadzaly, L: td, W: 293 H, Tsiqoh.
- Muhammad bin Basyar bin Utsman Al Abady, L: td, W: 252 H, Tsiqoh.
- Muhammad bin Isma’il bin Ibrohim bin Al Mughiroh Al Bukhori, Tsiqoh.
Dari paparan biografi perawi berdasarkan penelitian semuanya Tsiqoh dan dengan memperhatikan tahun wafat dari masing-masing perawi sangat mungkin mereka bertemu (liqa’) jadi sanadnya muttasil .


C. Definisi dan hukum Istinja’
Secara harfiyah istinja’ diambil dari ka an naja’ artinya bersih dari kotoran, sedangkan dalam literature kitab Fiqh arti istinja’ menurut syara’ ialah menghilangkan atau meringankan najis dari qubul atau dubur.
Mayoritas ‘ulama sepakat bahwa istinja’ hukumnya wajib, berdasarkan hadits-hadits yang penulis paparkan pada pembahasan sub A.
Hukum asal istinja’ ialah dengan memakai air mutlak/suci, namun benda-benda selain air juga boleh digunakan untuk istinja’ dengan catatan benda tersebut keras dan kasar sekiranya bias mengangkat najis, seperti batu dan sejenisnya.
Akan tetapi yang paling utama dalam istinja’ adalah diawali dengan batu kemudian diteruskan dan disempurnakan dengan memakai air bersih, batu disini berfungsi sebagai pengangkat kotoran dan air sebagai pembersih bekas kotoran tersebut, sehingga bersihnya menjadi maksimal.
Namun apabila menginginkan memilih salah satu maka air lebih utama digunakan karena air bias mengangkat najis dan bekasnya sekaligus tidak seperti batu yang masih meniggalkan bekas dengan catatan batu tersebut kering dan digunakan sebelum najisnya kering, dan ini hanya berlaku untuk najis yang tidak sampai meluber dari tempat keluarnya.
Hukum diatas berdasarkan hadits Riwayat Bukhori dan Muslim dari Anas bin Malik ra. Ia berkata :
“كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يدخل الخلاء فأحمل أنا وغلام إداوة من ماء وعنزة يستنجي بالماء”
Dan juga Riwayat Bukhori dan lainnya dari Ibnu Mas’ud ra. Ia berkata :
أتى النبي صلى الله عليه وسلم الغائط فأمرني ان آتيه بثلاثة أحجار
Dua hadits diatas menunjukkan bahwa Nabi saw. Istinja’ dengan menggunakan dua jenis benda, yakni dalam satu waktu menggunakan air, dan pada kesempatan lain memakai batu.
Tidak boleh hukumnya istinja’ memakai benda najis atau yang mutanajjis, ini berlandaskan HAdits Riwayat Al Bukhori dari Ibnu Abbas ra. :
“أتى النبي صلى الله عليه و سلم الغائط فأمرني أن آتيه بثلاثة أحجار فوجدت حجرين / والتمست الثالث فلم أجده فأخذت روثة فأتيته بها فأخذ الحجرين وألقى الروثة وقال ( هذا ركس(
Menelaah hadits diatas yang mana Nabi saw. Membuang routsah yang diberikan oleh Ibnu abas dengan alas an najis, maka istinja’ dengan benda najis hukumnya tidak sah.
Dan juga haram istinja’ memakai makanan atau benda-benda yang masuk kategori Muhtarom Syar’an (dimulyakan).

D. Tata krama Istinja’ berdasarkan hadits
Ada beberapa tata karma dalam istinja’ yang sudah sepantasnya bagi muslim untuk menjaganya ketika ia istinja’, seperti menjauhi jalan yang sering dilewati orang atau tempat-tempat yang sering dipakai duduk orang, karena hal ini menyakiti mereka dan merusak ketertiban umum.
Imam Muslim meriwayatkan Hadits dari Abu Huroiroh ra. :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « اتَّقُوا اللَّعَّانَيْنِ ». قَالُوا وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « الَّذِى يَتَخَلَّى فِى طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ فِى ظِلِّهِمْ ».
Salah satu tempat yang harus dihindari adalah lubang, karena ada larangan dari Nabi saw. Berdasrkan Hadits Riwayat Abu dawud dari Abdulloh bin Sarjis berkata :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ يُبَالَ فِى الْجُحْرِ. قَالَ قَالُوا لِقَتَادَةَ مَا يُكْرَهُ مِنَ الْبَوْلِ فِى الْجُحْرِ قَالَ كَانَ يُقَالُ إِنَّهَا مَسَاكِنُ الْجِنِّ.
















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Mayoritas Ulama’ sepakat bahwa Istinjak hukumnya wajib, berdasarkan beberapa Hadits berikut ini.
- Riwayat Bukhori dan Muslim dari Anas bin Malik ra. Ia berkata :
“كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يدخل الخلاء فأحمل أنا وغلام إداوة من ماء وعنزة يستنجي بالماء”
- Riwayat Bukhori dan lainnya dari Ibnu Mas’ud ra. Ia berkata :
أتى النبي صلى الله عليه وسلم الغائط فأمرني ان آتيه بثلاثة أحجار .
- Riwayat Abu Dawud dan lainnya dari ‘Aisyah rah. Bahwa Rosululloh saw. Bersabda :
إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْغَائِطِ فَلْيَذْهَبْ مَعَهُ بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ يَسْتَطِيبُ بِهِنَّ فَإِنَّهَا تُجْزِئُ عَنْهُ
- Riwayat Muslim dari Salman ra. Nabi saw bersabda :
لاَ يَسْتَنْجِى أَحَدُكُمْ بِدُونِ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ

2. Secara harfiyah istinja’ diambil dari kata an naja’ artinya bersih dari kotoran, sedangkan dalam literature kitab Fiqh arti istinja’ menurut syara’ ialah menghilangkan atau meringankan najis dari qubul atau dubur. Mayoritas ‘ulama sepakat bahwa istinja’ hukumnya wajib,
3. Ada beberapa tata karma dalam istinja’ yang sudah sepantasnya bagi muslim untuk menjaganya ketika ia istinja’, seperti menjauhi jalan yang sering dilewati orang atau tempat-tempat yang sering dipakai duduk orang, dan menghindari lubang karena ada larangan langsung dari Rosululloh saw.

Daftar Pustaka
1. Muhammad bin Isma’il bin Ibrohim bin Al Mughiroh Al Bukhori, Al Jami’ As Shohih.tt,tp
2. Muslim bin Al Hujjaj Al Qusyairi An Naisaburi, Shohih Muslim.tt,tp
3. Dr. Musthofa Khon, Dkk, Fiqhul Manhaji Ala Madzhabil Imam As Syafi’I, (Al Fithrah Surabaya), tt
4. Abdurrahman Al Jazairi, Kitabul Fiqh Ala Madzahib Al ‘Arbaah, Dar Al Kotob Al Ilmiyah, Beirut, cet. Ke 3, 2006.
5. Sulaiman bin Al Asy’asy As Sijistani, Sunan Abu Dawud, tp,tt.

ANTARA PEMIMPIN CALON PENGHUNI SURGA & CALON PENGHUNI NERAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Jika dipandang dari segi materi dan ketenaran dunia yang fana ini, kepemimpinan merupakan hal yang wajar untuk diimpikan setiap orang, tak heran bila masa pergantian pemimpin tiba bursa calon pemimpin menjadi ramai pendaftar, mulai dari perangkat terendah yakni desa sampai dengan tingkat legislative, yudikatif maupun eksekutif.
Hegemoni gandrung kepemimpinan ini memang wajar dikejar – kejar orang yang tak sedikit yang menimbulkan pertumpahan darah dan perang saudara, karena disamping jaminan yang bersifat social masyarakat yakni kehormatan dan kedudukan, yang paling mendasar dan pasti adalah jaminan financial dan kesejahteraan taraf hidup bagi diri pemimpin itu dan keluarga tentunya.
Namun apakah orang-orang yang gandrung terhadap kepemimpinan itu sudah tau atau faham tentang sabda Nabi saw. Tentang 3 macam pemimpin? Sehingga bias sedikit mengurangi semangat mereka untuk mengejar-ngejar kursi itu.
Dalam makalah singkat ini penulis akan berusaha memeparkan analisa ulama’ dalam memahami hadits Nabi Muhammad saw. Tentang pemimpin calon penghuni surge dan calon penghuni neraka.
B. Identifikasi Masalah
Memahami dan mendalami Hadits Nabi Muhammad saw. Tentang tiga macam pemimpin.
C. Rumusan Masalah
1. Apa makna yang terkandung dalam hadits Nabi saw. Mengenai 3 macam pemimpin?
D. Tujuan penulisan
Ingin mengetahui dan memahami hadits Nabi saw. Tentang tiga macam pemimpin.
E. Metode Penelitian
Dalam tugas makalah ini penulis menggunakan metode kajian pustaka (Library Reseach) dari Maktabah Syamilah dan kitab-kitab hadits klasik lain.
F. Tinjauan Pustaka
1. Muhammad bin Ali bin Muhammad As Syaukani, Nailul Author Min Asrori Muntaqol Akhbar, Beirut, tp,tt.
2. Muhammad bin Isma’il bin Ibrohim bin Al Mughiroh Al Bukhori, Al Jami’ As Shohih.tt,tp
3. Muslim bin Al Hujjaj Al Qusyairi An Naisaburi, Shohih Muslim.tt,tp
4. Al Maktabah As Syamilah Al Ishdar Tsani, 2000 kitab dengan kata kunci ” القضاء ثلاثة”








BAB II
PEMBAHASAN

A. Teks hadits dan terjemah
وعن بريدة عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال " القضاء ثلاثة واحدة في الجنة وإثنان في النار فأما الذي في الجنة فرجل عرف الحق فقضي به ورجل عرف الحق وجار في الحكم فهو في النار ورجل قضي للناس على جهل فهو في النار "
Artinya :
Dari Buroidah dari Nabi Muhammad saw. Beliau bersabda : “ada tiga macam pemimpin, satu di surga, dan dua lainnya di neraka. Adapun yang berada di syurga ialah laki-laki yang tau dan mengerti kebenaran kemudian ia menghukumi dengan kebenaran itu, dan laki-laki yang mengerti kebenaran akan tetapi ia ceroboh dan menyeleweng dalam menghukumi, maka ia di neraka, dan laki-laki yang memimpin dan menghukumi manusia dengan kebodohannya, maka ia di neraka. “
B. Studi matan hadits
Hadits diatas menggunakan kata rojulun, ini mengindikasikan akan syarat laki-laki bagi seorang pemimpin, demikian komentar As Syaukani dalam Nailul Author.
Sedangkan dalam kitab kitab Syarhus Sunnah milik Imam Al Baghowi, dikatakan bahwa: Hadits diatas menunjukkan bahwa bagi pemimpin tidak diperbolehkan untuk taqlid kepada orang lain sehingga ia berijtihad dengan kemampuannya, sekalipun kepada orang yang lebih pintar.
Dalam Syarah Sunan Abu Dawud karya Abdul Muhsin Ibad, beliau mengomentari redaksi فأما الذي في الجنة فرجل عرف الحق فقضى به yakni pemimpin yang memang kredibel dan kapabel. kemudian ia memutuskan hukum berdasarkan kapabilitas dan kredibilitasnya. dan itu menyebabkannya masuk surga, karena ia mengetahui kebenaran itu dan menjalankannya.
Dan pada redaksi ورجل عرف الحق فجار في الحكم beliau berkomentar yakni pemimpin yang mengetahui kebenaran akan tetapi ia memutuskan hukum tidak sesuai dengan kebenaran itu, ini menyebabkan ia di neraka, karena ia telah menyeleweng.
Selanjutnya pada redaksi ورجل قضى للناس على جهل فهو في النار bahwa seorang pemimpin yang memutuskan hukum dikalangan umat tanpa disertai ilmu maka ia tidak bias ditolerir, karena dengan kebodohannya seharusnya ia tidak layak menjadi pemimpin, sehingga meskipun seandainya yang ia putuskan itu benar ia tetap berdosa, putusannya itu tidak berarti apa-apa dan percuma karena hanya didasarkan pada jahlin bukan keilmuan dan kemampuan. Berbeda ketika kesalahan memutuskan hukum itu timbul dari pemimpin yang kredibel dan kapabel setelah melakukakan ijtihad kemudian salah, ia tetap mendapatkan pahala satu dan bebas dari dosa, sedangkan bila putusannya benar ia mendapat dua pahala, satu pahala karena kebenarannya dan satu pahala untuk ijtihadnya.
Pada kesimpulannya yang berada di neraka adalah dua macam pemimpin: yang pertama pemimpin yang mengetahui kebenaran akan tetapi tidak menjalankan kebenaran itu, kedua pemimpin yang memutuskan hukum tanpa ilmu masing-masing dari kedua macam orang ini masuk neraka, kedua dianggap bersalah, namun yang pertama dinilai lebih parah dan lebih buruk, karena dengan sengaja melakukan maksiat kepada Allah swt.
Dan pemimpin yang layak masuk surga Allah swt adalah pemimpin yang jujur dalam memutuskan hukum sesuai dengan kemampuan dan keilmuannya.
Hikmah yang bisa kita petik dari hadits diatas adalah bahwasanya pemimpin itu bukan hal main-main dan bukan sembarang orang layak mendudukinya, karena harus dipegang oleh orang yang memilki kemampuan lahir dan bathin, kemampuan lahir artinya keilmuan yang mumpuni, kemampuan bathin artinya kesungguhan dan kejujuran dalam memutuskan hukum.



















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Bahwa ada dua jenis pemimpin yang diancam oleh Allah akan dimasukkan ke neraka yakni:
• pertama pemimpin yang mengetahui kebenaran akan tetapi tidak menjalankan kebenaran itu,
• kedua pemimpin yang memutuskan hukum tanpa ilmu masing-masing dari kedua macam pemimpin ini masuk neraka, kedua dianggap bersalah, namun yang pertama dinilai lebih parah dan lebih buruk, karena dengan sengaja melakukan maksiat kepada Allah swt.
Dan pemimpin yang layak masuk surga Allah swt adalah pemimpin yang jujur dalam memutuskan hukum sesuai dengan kemampuan dan keilmuannya.

Saran








Daftar Pustaka
1. Muhammad bin Isma’il bin Ibrohim bin Al Mughiroh Al Bukhori, Al Jami’ As Shohih.tt,tp
2. Muslim bin Al Hujjaj Al Qusyairi An Naisaburi, Shohih Muslim.tt,tp
3. Sulaiman bin Al Asy’asy As Sijistani, Sunan Abu Dawud, tp,tt.
4. Abdul Muhsin Ibad, Syarhu Sunan Abu Dawud, tp,tt.
5. Muhammad bin Ali bin Muhammad As Syaukani, Nailul Author Min Asrori Muntaqol Akhbar, Beirut, tp,tt.
6. Al Maktabah As Syamilah Al Ishdar Tsani, 2000 kitab dengan kata kunci ” القضاء ثلاثة”